Sabtu, 23 Desember 2017

Makalah Periwayatan Hadis Lengkap

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan taufiknya kepada kita semua, terutama kepada kami yang telah selesai menyelesaikan penulisan makalah ulumul hadits ini. Karena berkat rahmat beserta karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun masih banyak kekurangan di dalam makalah kami ini.
Kemudian shalawat beserta salam kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga selalu tercurah kepada pemimpin umat sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada sahabat-sahabatnya, dan pada akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman ini, semoga Allah tetapkan hati kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat, amiin.
Makalah ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah Ilmu Hadis, yaitu M. Khaedir, S.TH.I., M.Ag.. Alhamdulillah makalah yang berjudul “Periwayatan Hadis” telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya masih banyak kekurangan dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun karena ketidaktahuan kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini banyak sekali tantangan yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya memahami pembahasan mengenai periwayatan hadis tersebut, namun berkat izin dari Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kritik, saran, masukan, dan sanggahan sangat kami harapkan bagi siapapun yang membaca makalah ini, agar makalah ini lebih baik dan lebih sempurna lagi untuk kedepannya.





Makassar, 23 November 2017




Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................          i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................         1
1.1 Latar belakang...................................................................................................         1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................         2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................         2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................         2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................         3
2.1  Pengertian Periwayatan Hadis.........................................................................         3
2.2  .................................................................... Unsur-Unsur Periwayatan Hadis               3
2.3  Cara-Cara Periwayatan Hadis........................................................................         9
2.4  Macam-Macam Periwayatan Hadis................................................................       13
2.5  Bentuk-Bentuk Hadist......................................................................................       15
BAB III PENUTUP..........................................................................................................       17
3.1  Kesimpulan........................................................................................................       17
3.2  Saran..................................................................................................................       17


DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
                                                           
1.1  Latar belakang
Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Dapat diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadist Nabi tidaklah sama dengan sejarah pencatatan dalam penghimpunan Al-Qur’an, pada zaman Nabi, tidaklah seluruh hadist Nabi dicatat oleh para sahabat nabi, hal ini dikarenakan karena Nabi sendiri pernah secara umum melarang para sahabat menulis hadist beliau, hanya orang-orang tertentu saja dari kalangan sahabat yang diizikan oleh nabi melakukan pencatatan hadist.
Setelah itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadist, sejarah menyatakan bahwa pada zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar Bin Khattab periwayatan hadist Nabi berjalan dengan sangat hati-hati, dikarenakan pada saat itu bagi kalangan sahabat yang ingin menyampaikan riwayat hadist diminta untuk menghadirkan saksi dan bahkan sampai melakukan sanksi, dengan demikian kegiatan periwayatan hadist menjadi sangat terbatas pada waktu itu, namun seiring berjalannya waktu di tengah-tengah roda pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadist secara resmi, dan karena setelah kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan sahabat nabi maupun para sahabat khalifah sendiri.
Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu, peristiwa  awal mula banyaknya terjadi pemalsuan hadist yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits dengan cara mengetahui transformasi hadits. Transformasi hadits yang dimaksud yakni Periwayatan Hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada Rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.


1.2  Rumusan Masalah         
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya, antara lain:
1.      Apa pengertian dari periwayatan hadist?
2.      Apa-apa saja ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna?
3.      Bagaimakah proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist tersebut?


1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah

1.   Mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.

2.   Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna

3.   Mengetahui proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist.


1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah

1.   Untuk mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.

2.   Untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna.

3.   Untuk mengetahui bagaimana proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist.

                                                                                              



BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Periwayatan Hadist

Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apabila menghilangkan kata-kata atau menambahkan kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis
Beberapa istilah yang digunakan oleh ulama dalam periwayatan hadis:
1)        Rawi
Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis. Antara rawi dan sanad orang – orangnya sama, yaitu – itu saja. Misalnya pada contoh sanad, yaitu sanad terakhir Abu Hurairah adalah perawi hadis yang pertama, begitu seterusnya hingga kepada Imam Bukhari. Sedangkan Imam Bukhari sendiri adalah perawi hadis yang terakhir. Untuk menyeleksi


hadis yang sekian banyaknya dan pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup tidak banyak sahabat yang menulis hadis, dan penyampaian hadis Nabi SAW masih terbatas dari mulut ke mulut berdasarkan hafalan dan ingatan saja sampai pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis tahun 99 – 101 H.
Kata perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam istilah hadis, al-rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis. Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi, seperti:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصارى قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر…

Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi. Singkatnya, sanad  itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah, sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.
Maka untuk menjaga keaslihan hadis diperlukan Perawi – Perawi hadis yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1.    Beragama Islam, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba (pelayan).
2.    Aqil baligh, artinya: berakal sehat dan cukup umur, maka setiap orang yang mukallaf atau sudah dewasa, dianggap cakap berbuat atau melakukan perbuatan hukum, atau bertanggung jawab.
3.    Bersifat adil, artinya: memiliki sifat-sifat yang baik, jujur, mengutamakan kebenaran dan tidak terlibat pada sifat-sifat tercela.
4.      Perawi itu harus seorang yang dhabith, Dhabith ini mempunyai dua pengertian yakni:
a.    Dhabith dalam arti bahwa perawi hadis harus kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan orang yang pelupa.
b.    Dabit dalam arti bahwa perawi hadis itu dapat menjaga atau memelihara kitab hadis yang diterima dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada orang mengadakan perubahan didalamnya.

Adapun para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis yaitu :
-          Abu Hurairah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah hadis.
-          Abdullah bin Umar, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2630 buah hadis.
-          Anas bin Malik, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2286 buah hadis.
-          Aisyah Ummul Mukminin, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2210 buah hadis.
-          Abdullah bin Abbas, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1660 buah hadis.
-          Jabir bin Abdullah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1540 buah hadis.
-          Abu Sa’id Al Khudri, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis.

Selain tujuh sahabat tersebut masih banyak yang meriwayatkan hadis tetapi tidak ada yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu hadis. Para sahabat Nabi saw ini menjadi perawi hadis pertama dan sanad terakhir dan mereka inilah yang pada umumnya disebut sanad dalam hadis. Kemudian yang disebut perawi hadis terakhir adalah mereka yang membukukan hadis dalam kitab-kitabnya seperti, Muwatha’nya Imam Malik, Al Kutub Al Sittah, setelah itu sangat sulit untuk menemukan orang yang dapat dikatagorikan sebagai perawi hadis, atau mungkin tidak ada perawi yang muktabar.

Ø  Perbedaan Mukharrij Dan Rawi
Al-Mukharrij berasal dari kata Kharraja yang artinya mengeluarkan. Dalam terminologi ilmu hadis al-Mukharrij didefinisikan sebagai orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan urutan rangkaian sanad dalam kitab hadis yang dia bukukan. Seperti Imam Malik dalam kitab al-Muwattho, Imam Bukhariy, Imam Muslim dalam kedua kitab Shohihnya dan lain-lainya. Sehingga sering kita baca dalam kitab-kitab hadis; Akhrajahul Bukhariy Fis Shahih, Akhrajahu Muslim Fis Shahih, Akhrojahu Malik Fil Muwattha, Akhrajahu Ahmad Fi Musnadihi, dan sebagainya. Atau boleh juga kita sebut: Rowahul Bukhariy, Rowahu Muslim, Rowahu Malik, Rowahu Ahmad. Lantaran setiap Mukharrij (pentakhrij hadis) adalah orang yang meriwayatkan. Tetapi tidak semua Rowi (periwayat hadis) disebut Mukharrij.
Disebutkan dalam satu kaidah bahwa “Setiap mukharrij itu dipastikan sebagai periwayat hadis, tetapi tidak semua periwayat hadis itu seorang mukharrij”. Kesimpulannya, mukharrij adalah periwayat hadis yang menginventarisir riwayat-riwayatnya dalam satu kitab, sedangkan perawi hadis sekedar meriwayatkan saja tanpa membukukan riwayatnya."

2)        Sanad
Sanad yaitu sandaran atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadith. Sanad inilah orang yang mengkabarkan hadis dari Rasulullah saw kepada orang yang berikutnya sampai kepada orang yang menulis atau mengeluarkan hadis . Secara bahasa, sanad berasal dari kata سند yang berarti انضمام الشيئ الى الشيئ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
 Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut :
حدثناابن سلام قال اخبرنامحمدبن فضيل قال حدثنا يحي بن سعيد عن ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م : من صام رمضان ايمانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah. Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan kesohihan hadis.

Berikut adalah contoh sanad lainnya :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqas al-Laisi berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khattab ra berkata di atas mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…

3)        Matan
Yakni sabda Nabi atau isi dari hadith tersebut. Matan ini adalah inti dari apa yang dimaksud oleh hadis, misalnya:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الشيخان عن ابى موسى)
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf م- ت- نMatan memiliki makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hads maka defenisinya adalah:
ألفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى
“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.

Dapat juga diartikan sebagai ما ينتهى إليه السند من الكل (Apa yang berhenti dari sanad berupa perkataan). Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر…
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan hijrahnya…
Dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara terminologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
      
       Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut:

حدثناابن سلام قال اخبرنامحمدبن فضيل قال حدثنا يحي بن سعيد عن ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م : من صام رمضان ايمانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah. Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan kesohihan hadis.

Berikut adalah contoh sanad lainnya :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqas al-Laisi berkata “Saya mendengar Umar ibn al-Khattab r.a. berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…”

4)        Shigad Isnad
Dalam ilmu hadis, Shigat Isnad diartikan dengan lafal-lafal yang digunakan oleh para periwayat hadis pada saat menyampaikan atau menerima hadis. Shigat isnad terdiri atas delapan tingkatan atau martabat yang berimplikasi bahwa martabat pertama lebih tinggi dari martabat kedua, ketiga, dan seterusnya sampai pada martabat ke delapan. Sigat isnad tersebut dapat dijadikan ketersambungan sanad hadis dan dapat memudahkan untuk menentukan kualitas hadis.

2.3 Cara-Cara Periwayatan Hadis
Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
1)        As-Sama’ (السَّمَاعُ)
Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir,kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling mencocokkan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah :
 سَمِعْتُ ‘aku telah mendengar’ dan حَدَّثَنِي ‘telah menceritakan kepadaku’. Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafalnya adalah سَمِعْنَا ‘kami telah mendengar’ dan حَدَّثَنَا ‘telah menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-sama.    

2)        Al-Qira’ah (القِرَاءَةُ)
Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain yang tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan kalimat: قَرَأْتُ فُلاَنًا ‘aku telah membaca kepada si fulan’ atau قَرَأْتُ عَلَيْهِ ‘aku telah membaca dihadapannya’ atau قُرِئَ عَلَى فُلاَنٍ وَاَنَا أَسْمَعُ ‘dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal أَخْبَرَنَا ‘telah mengabarkan kepada kami’.

3)        Al-ijazah(الإِجَازَةُ)
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
a.    Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi dibandingkan dengan ijazah lainnya.
b.    Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c.    Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku.”
d.   Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.

Kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah :
 أَجَازَلِفُلاَنٍ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, حَدَّثَنَاإِجَازَةً ‘ia telah memberikan hadits dengan ijazah kepada kami’, أخْبَرَنَاإجَازَةً ‘telah mengabarkan kepada kami dengan cara ijazah’, atau أنْبَأنَاإجَازَةً ‘ia telah memberikan kepada kami dengan ijazah’

4)        Al-Munawalah (المُنَاوَلَةُ)
Munawalah artinya memberikan, menyerahkan. Yakni: ”Guru memberikan kitabnya kepada murid”, atau “Ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “Ia pinjamkan kitabnya itu”, atau “Seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya; sesudah guru memperhatikannya benar benar, lalu ia kembalikannya kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a.    Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau dipinjamkan agar disalin.
b.   Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah meriwayatkannya.

Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap tidak sah. Para ahli hadits mencela orang-orang yang membolehkan riwayat dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: نَاوَلَنِيْ وَأجَازَنِي ‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, حَدَّثَنَامُنَاوَلَةًوَإجَازَةً ‘ia telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau أخْبَرَنَامُنَاوَلَةً ‘ia telah mengabarkan kepada kami dengan munawalah’.

5)        Al-Mukatabah (ألمُكَاتَبَةُ)
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
  1. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
  1. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, كَتَبَ إلَيَّ فُلاَنٌ ‘seseorang telah menulis untukku’.

6)        Al-I’lam (الإِعْلاَمُ)
Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya sang guru tidak member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini misalnya أعْلَمَنِي شَيْخِي ‘guruku telah member tahu kepadaku’.

7)        Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)
Washiyyah artinya memesan atau mewashiyati. Periwayatan hadits dengan cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara wasiat adalah أوْصَى إلَيَّ فُلاَنٌ بِكِتَابٍsi fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab’, atau حَدَّثَنِي فُلاَنٌ وَصيَّةً ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat’.

8)        Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)
Wijadah artinya mendapat. Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu: seorang rawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau menerima dari yang menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan cara wijadah, biasanya rawi menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku ini dari tulisan si fulan’, atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan cara wijadah tergolong hadits munqati’, karena rawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
2.4 Macam-Macam Periwayatan Hadis
Macam-Macam Periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
a)      Riwayat Al-Aqran dan Mudabbaj
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika masing-masing rawi yang segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut riwayat mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap thabaqhah rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.

b)      Riwayat Al-Akabir an’ Al-Ashaghir
Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh seorang yang lebih tua atau yang lebih banyak ilmunya kepada orang yang lebih muda atau lebih sedikit ilmunya. Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik), ayah dari anak (Ibn Abbas dari Fadhal, dll.
c)      RiwayatAn’ At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat
Maksudnya periwayatan seorang sahabat yang menerima hadist dari seorang tabi’in yang telah menerima hadis dari sahabat lain. Seperti contoh ,riwayat Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam (tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).
d)     Riwayat As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq
Apabila dua orang rawi pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang darinya meninggal dunia, namun sebelum meninggal dunia ia pernah meriwayatkan hadits tersebut. Maka riwayat rawi yang meninggal tersebut disebut riwayat as-sabiq, sedangkan riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal lebih akhir tersebut disebut riwayat al-lahiq.
e)      Riwayat Musalsal
Dalam bahasa arab kata musalsal artinya tali-temali. Maksudnya terdapat satu sifat, keadaan atau perkataan yang selalu sesuai, bias terjadi pada rawi dan pada periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah dapat mengenai:
1)      Shighat meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu, haddatsaniy, dan lain-lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang demikian.
2)      Masa meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa tertentu. 
3)      Tempat meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di tempat-tempat tertentu.
f)       Riwayat Mutafiq Dan Muttariq
Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya rawi yang bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn Salamah.
g)      Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif
Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan sebagai lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf yang dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang dirangkap).

2.5 Bentuk-Bentuk Hadist
Bentuk-bentuk hadits terbagi atas qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal) dan lainnya.
1.    Hadits qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714).

2.    Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya. Contohnya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat”.

3.    Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)

4.    Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah Hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW. yang belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Contohnya:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916).

5.    Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Contohnya:
انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.



BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan susuna matan hadist, serta periwayatan secara makna harus secara lafadz.

3.2 Saran
Diakhir tulisan ini kami selaku penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1)      Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2)      Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3)      Semoga hasil usaha kami menyusun makalah ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada kami selaku penulis atau penyusun makalah ini sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, Ilmu Hadis: Pengantar Memahami Hadis Nabi SAW, Makassar: Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum. 2016.


MAKALAH

“PERIWAYATAN HADIS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ilmu Hadis











  


DISUSUN OLEH :

AKUNTANSI C

IRMA TRIYANI YAHYA                 (90400117095)
ANDINI IRAWANTI IRWAN          (90400117085)
ALFI ARYANSYAH                          (90400117105)
RISMAWAN                                       (90400117115)









PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2017


Tidak ada komentar: